Laman

  • HOME
  • LOMBA BLOG
  • ARTIKEL
  • TUTORIAL
  • JUAL SUPERGREENFOOD

Masyarakat Peduli TB

Moocen Susan | Sabtu, Juni 21, 2014 | 10 Comments so far
  
Saat seseorang mengetahui bahwa dirinya terdiagnosa kena TB prosentase kekhawatirannya sebesar 50 % dan ada juga yang berpikir untuk bunuh diri sebesar 9 %. Ketakutan ini disebabkan karena bayangan mereka akan TB yang merupakan penyakit pembunuh nomer 1 di antara penyakit menular dan berada di urutan ketiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Dimana sebagian besar penyakit ini menyerang kelompok usia produktif dan masyarakat ekonomi lemah. Bahkan TB menjadi penyebab tersering kematian pada ODHA. 

   Kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku hidup bersih dan sehat berkaitan erat dengan TB. Disamping itu wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB. 

   Bicara soal TB memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengingat TB adalah penyakit kronik yang salah satu kunci keberhasilan pengobatan adalah kepatuhan dari penderitanya sendiri (adherence) maka  ketika penderita sudah tahu penyebabnya dan solusi untuk mengobati serta kepatuhannya dalam meminum obat TB hingga tuntas sehingga dia menjadi sembuh. 

   Repotnya kalau penderita tidak patuh dalam meminum obatnya sehingga menjadi resisten/ kebal obat. Nah kalau sudah resisten istilahnya MDR TB, pengobatan bisa mencapai 2 tahun, efek samping jadi lebih berat, jumlah obat yang diminum juga lebih banyak dan biayanya juga semakin mahal. Belum lagi kalau menyerang organ tubuh lainnya/ komplikasi wah betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan?

   Tak hanya itu saja, selain pasien TB mengalami dampak fisik berupa keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik secara normal mereka juga mengalami dampak sosial dan mental yaitu dikucilkan di masyarakat. 

   Beban TB khususnya di Indonesia masih sangat tinggi dimana setiap tahunnya masih ada 460.000 kasus baru dan sekitar 186 orang per hari meninggal dunia akibat .Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. 

   Mengingat bapakku sendiri adalah penderita TB yang sudah resisten terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) akibat ketidakpatuhannya dalam meminum obat TB yang berjangka 6-9 bulan itu, sempat membuatku berpikir juga bagaimana dengan nasib penderita TB yang lain yang tidak/ belum terjangkau oleh pelayanan medis?

    Seperti yang sudah saya tulis di artikel saya serial 1 disini, mereka yang tidak terjangkau ini diantaranya yaitu : 

  • Pengidap TB yang tidak mendapat akses kesehatan sama sekali misalnya karena : 
  • Kemiskinan → karena miskin, tidak punya uang untuk berobat sehingga menyebabkan penderita enggan berobat.
  • Terdiskriminasi → TB itu kan penyakit menular. Karena penularannya melalui udara misalnya ketika penderita sedang berbicara atau meludah, dari batuk, bersin, dahak penderitanya maka kita bisa dengan mudah tertular yaitu ketika kuman yang terpecik tadi kita hirup. Oleh sebab itu penderita TB biasanya cenderung dijauhi orang lain karena takut ketularan tadi, akibatnya penderita akan merasa terdiskriminasi.
  • Tingkat kewaspadaan dan pengetahuan mengenai penyakit TBC yang rendah sehingga tidak tahu kapan dan mengapa harus mencari bantuan tenaga kesehatan→ nah disini diperlukan peran dari LSM (lembaga swadaya masyarakat untuk mengedukasi masyarakat tentang TB. 
  • Terbatasnya layanan kesehatan dan pendistribusian yang tidak merata, kesulitan ekonomi: biaya pengobatan, biaya transportasi dan hilangnya pendapatan, konflik dan rasa kecurigaan. 
  •  Pengidap TBC yang tidak terdiagnosa karena tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang diagnosa TBC. Hal ini disebabkan karena gagalnya mengidentifikasi gejala dan tanda penyakit TB, tidak akuratnya alat diagnostik penyakit TBC, dan sulitnya akses ke pemeriksaan penunjang. 
  • Pengidap TBC tidak tercatat apakah sudah diobati atau belum meski sudah terdiagnosa . Hal ini disebabkan karena tidak adanya kerjasama dokter pribadi, laborat, rumah sakit, dan layanan kesehatan publik atau pemerintah atau lembaga non pemerintah , lemahnya sistem pencatatan/ pelaporan. Tidak adanya suatu kewajiban untuk pelaporan kasus penyakit TBC oleh para penyelenggara layanan kesehatan. 

   WHO memang telah mengupayakan strategi DOTS yaitu pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagai langkah komprehensif dalam menanggulangi TB. 
    Dimana tujuan utama strategi DOTS yang memiliki 5 komponen utama : dukungan pemerintah, obat, mikroskop, pengawas dan laporan ini yaitu menyembuhkan 85% dan mendeteksi 70% orang-orang yang terinfeksi TB. 
   Strategi ini tidak cukup bila hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Peran LSM sangatlah signifikan dalam menyukseskan DOTS. LSM dapat menyediakan pelayanan terkait dengan TB melalui klinik atau rumah sakit. Di sini, LSM akan berperan sebagai pelayanan baris kedua (second line treatment) untuk para penderita TB. 
   LSM bisa berperan sebagai pendidik masyarakat dalam perawatan TB. Hal ini diperlukan karena banyak dari masyarakat yang tidak mengerti tentang bagaimana gejala TB, perawatan dan cara pengobatannya. LSM juga dapat mendorong perawatan berbasis komunitas (community based care). Melalui perawatan ini, LSM mendorong komunitas untuk lebih peka terhadap penderita TB dengan program-program yang dibuat oleh komunitas tersebut. 
   Selain itu, LSM juga dapat membuat sebuah riset yang berguna untuk perkembangan dalam penanggulangan TB Selain itu, komitmen seluruh komponen masyarakat juga diperlukan dalam pengendalian TB di negara kita ini demi terwujudnya Indonesia bebas TB. Oleh sebab itu dibentuklah sebuah wadah kemitraan untuk mendukung program tersebut yang diberi nama Stop TB partnership Forum Indonesia. Kepatuhan penderita TB juga berperan penting demi kesembuhan dirinya sendiri. 
   Indonesia telah menginisiasi beberapa model inovatif untk keterlibatan pasien dalam pengobatan dan pengendalian TB. Rencana Aksi Nasional tentang keterlibatan masyarakat dan pasien TB telah disusun pada 2010. Sebuah perkumpulan Nasional pasien TB didirikan pada 2008 yaitu PAMALI TB dan piagam hak dan kewajiban pasien TB telah disusun dengan mengadopsi “Patient Charter” yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. 
   Lalu, bagaimana dengan peran serta kita sebagai warga masyarakat dalam upaya pengendalian TB ? Langkah sederhana yang perlu kita lakukan diantaranya : 
  1. Tidak mendiskriminasi/ mengucilkan penderita TB agar mereka tidak takut dan cemas karena tidak bisa diterima di masyarakat. 
  2. Mendorong tetangga yang terdeteksi terjangkit TB serta anggota keluarganya untuk segera memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala TB diantaranya batuk lebih dari 2 minggu, demam dan keringat dingin di malam hari, nafsu makan berkurang sehingga berat badan menurun. 
  3. Memberikan informasi kepada tetangga tentang TB dan pengobatannya serta tentang pentingnya mengenakan masker bagi pasien TB agar tidak menularkan kuman bagi orang disekitarnya. 
  4. Mengingatkan tentang bahaya merokok kepada teman/ kenalan/ tetangga/ kerabat yang bisa mengakibatkan TB. 
  5. Mendeteksi secara dini TB pada anak-anak dengan gizi buruk, yang hidup dengan HIV, tinggal di tempat tinggal kumuh dan kurang ventilasi udara yang baik.
  6. Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan perumahan di masyarakat.
sumber referensi:
- http://www.tbindonesia.or.id/
- www.kpmak-ugm.org
- www.tanyadok.com 

Berbagi Tugas

Moocen Susan | Jumat, Juni 20, 2014 | 3 Comments so far
   Akhir-akhir ini aku capek banget bolak balik keluar kota, ngurus surat ini itu untuk prosedur pengobatan bapakku. Kerjaanku jadi terbengkalai, aku sering batalin les dan rasanya mulai malas ngapa-ngapain. Mau ikutan lomba blog juga ogah-ogahan, apalagi kalau syaratnya berat. Perhatianku sepenuhnya kepada bapakku. Memperhatikan perkembangannya, makannya, minum obatnya, mengatur jadwal ketemu dokternya. 

    Aku sangat terbantu dengan keberadaan adikku di Semarang, jadi kami bisa saling bagi tugas. Meski aku sering tepar di mobil ketika mengantar bapakku, tapi rasanya puas bisa mengantar ortu sendiri. Beberapa waktu yang lalu sempat bergumul mau berobat kemana dan puji Tuhannya, step by step Tuhan pimpin langkahku. 

   Kartu BPJS sudah kuurus, rujukan sudah siap semua dan rencana akan berangkat keluar kota lagi besok Selasa. Aku sungguh tidak menyangka, kalau aku bisa melakukan semuanya ini. Aku sungguh hanya memikirkan bapakku, tak ada yang lain. Aku mengabaikan kelemahan dan ketakutanku demi kesehatan beliau. 

   Tadi pagi aku begitu marah, karena bapakku eman-eman makan buah sirsat yang sudah jamuran. Kadang beliau susah sekali dinasehati. Mungkin kekuatiranku terlalu berlebihan, tapi itu semua karena aku sangat sayang bapakku. Mungkin maksud bapakku irit makanan, tapi kadang beliau suka simpan makanan terlalu lama dan aku paling cerewet kalau ada makanan ga segera dimakan. 

   Efisiensi dan efektivitas waktu sangat kuperhitungkan ketika hendak melakukan segala sesuatu termasuk keberangkatan kami ke Semarang. Aku dan adikku saling bertukar informasi dan terus SMS/ telepon. Aku mencari informasi tentang prosedur ini itu dan melibatkan banyak orang karena aku tidak mau salah langkah. Aku ingin memastikan bahwa jalan yang kutempuh ini sudah benar, sehingga tidak ada lagi kesalahan. Aku memang cenderung perfeksionis. Adikku kuminta untuk datang langsung ke rumah sakitnya untuk menanyakan mekanisme dan syarat-syarat yang harus dilengkapi dan kabarnya dokter hanya membatasi 3 orang yang bisa mendapat kesempatan berobat dengan BPJS. Wah, semoga masih keburu daftar hari itu.
   
   Berulangkali browsing website, cari dokter, cari prosedur yang benar, baca artikel tentang obat-obatan yang diminum, memperhatikan setiap perkembangan bapakku dan aku jadi kurang tidur karena bapakku makannya tidak umumnya orang makan. Sehingga minum obatnya jadi mundur-mundur. Duh kadang gemes juga. Sampai pada titik puncak keletihanku. Aku benar-benar berserah pada Tuhan. Mengalir dan jalani saja apa yang di depanku. Harapan kami berdua cuma 1 yaitu kesembuhan bapak.

Pengalamanku Mengurus BPJS untuk rawat jalan & inap di luar kota

Moocen Susan | Kamis, Juni 19, 2014 | 23 Comments so far
   Hari ini aku ke kantor BPJS untuk mendaftar sebagai peserta BPJS (non-PBI : bukan-Penerima Bantuan Iuran-red). Setelah kemarin sempat maju mundur untuk bikin BPJS. Yah, beginilah kalau kurang informasi :( 

   Untuk mendaftar 1 formulir untuk sekeluarga minimal yang didaftarkan harus 2 orang. Jika akan menambahkan anggota keluarga lagi, pakai formulir baru lagi dilengkapi dengan fotokopi berkas seperti diatas. Tapi kemarin waktu datang ke kantornya untuk kedua kalinya daftar 1 orang juga boleh. Alurnya sebagai berikut : 
  1. Mengisi formulir pendaftaran dilengkapi dengan fotokopi KK, KTP, dan pas foto berwarna 3x4 = 1 lembar. 
  2. Setelah itu serahkan pada petugasnya → dapat catatan nomor rekening BPJS untuk kita transfer biaya ke Bank. Iuran wajib dibayarkan sebelum tanggal 10 setiap bulannya. Lewat tanggal itu bisa kena denda. Untuk kelas 1: Rp. 59.500, kelas 2: Rp.42.500, kelas 3: Rp.25.500,- 
  3. Sampai di bank kita dapat slip bukti setoran → kembali lagi ke kantor BPJS menyerahkan bukti setoran tadi 
  4. Kita mendapat kartu BPJS dari kantor. 
Untuk prosedur rawat jalan ke rumah sakit luar kota: 

  1. Setelah kita mendapat kartu BPJS datanglah ke dokter keluarga Anda/ kalau aku ke puskesmas. 
  2. Daftar ke loket pendaftaran di puskesmas dan serahkan kartu BPJS dan kartu berobat 
  3. Setelah dipanggil masuk ke ruang dokter, minta rujukan ke rumah sakit setempat 
  4. Dari ruang dokter, kembali ke loket pendaftaran menyerahkan surat dari dokter tadi 
  5. Masuk ke ruang sekretariatnya untuk mendapat rujukan puskesmasnya. 
  6. Surat rujukan dari puskesmas dibawa ke rumah sakit umum
  7. Ambil nomer antrian
  8. Jika sudah dipanggil, serahkan kartu BPJS asli + fotokopinya, surat rujukan puskesmas asli, kartu berobat RS
  9.  Masuk ke ruang dokter dan minta surat rujukan dari rumah sakit ke rs yang dituju
  10. Ke bagian informasi untuk mendapat nomer surat rujukan.
  11. Pergi ke kantor BPJS lagi untuk mendapat stempel.
untuk prosedur rawat inapnya:
cukup bawa surat rujukan dokter keluarga, rujukan rumah sakit setempat (yang sudah di stempel di kantor BPJS ) dan fotokopi kartu BPJS.

Tulisanku di Gado-gado Femina Edisi 23

Moocen Susan | Rabu, Juni 18, 2014 | 15 Comments so far
   Aku pernah ada dalam situasi dimana aku sudah putus asa tidak mau kirim naskah lagi karena sering ditolak. Namun anehnya selalu saja ada teman yang memotivasiku untuk terus menulis. Kali ini motivasi itu datang dari temanku mbak Rebellina Passy. Beliau sudah 2x tembus gado-gado femina. Wow, aku kagum. 

   Aku tidak mau hanya berhenti pada rasa kagum akan seseorang, aku pun juga harus berusaha untuk dikagumi. Karena kekaguman saja tidak akan mengubah apapun kalau kita tidak mau berusaha. Akhirnya aku mencoba untuk menulis hal-hal yang menarik dalam hidupku. 

   Aku menulis 20 naskah dan yang akhirnya diterima malah tulisanku yang ke-9. Aku kirimnya waktu itu 17 Maret 2014 dan aku mendapat kabar kalau tulisanku akan dimuat via email tanggal 8 Mei 2014. Dalam email pemberitahuan itu aku diminta untuk melengkapi surat dan diberi materai Rp.6000 lalu dikirim balik ke admin femina. Pada bulan Juni 2014 (edisi 23 periode tanggal 7-13 Juni 2014) tulisanku nyantol di gado-gado femina berjudul Ayam. Judul aslinya sih Ayam Tetangga, mungkin biar penasaran kali ya dipangkas jadi Ayam aja hihi. 

   Oya asiknya lagi setelah tulisan dimuat, aku juga minta bukti terbit. Masalahnya kemarin mau beli di Blora kagak ada yang jual femina. Harga Majalahnya Rp. 25.000,-. Ok, pada penasaran bagaimana sih cerita Ayam-ku itu? Pada kenyataannya aku sebel banget sama ayam tetanggaku ini, tak kusangka yang membuatku sebel luar biasa malah dimuat. 
kalau kurang jelas bisa baca tulisan dibawah ini / bisa juga pake kaca pembesar hihi..

  Ayam 

Aku juga heran mengapa ayam tetanggaku itu selalu menyerangku. Mungkin ini hukum karma


    Tiap hari aku pergi ke pasar kecil yang terletak di belakang rumah dengan melewati samping rumah tetanggaku. Itu jalan pintas, lebih dekat daripada jika lewat pertigaan jalan raya. 

   Awalnya nyaman-nyaman saja lewat jalan potong ini, hingga kemudian aku merasa terusik dan takut karena tetanggaku itu memelihara seekor ayam yang galak. Ini sungguhan, ayam berbulu lebat berwarna putih itu berperilaku galak. Sorot matanya tajam, seakan mengawasi gerak-gerikku dan selalu bertendensi menyerang dan mematuk. 

   Pagi itu, aku ada keperluan ke pasar. Aku pun mengendap-endap mencari dimana posisi ayam itu berada. “Wah, aman nih. Ayamnya tidak ada.” Merasa situasi aman, aku melangkahkan kaki dengan percaya diri. Namun tiba-tiba, langkahku terhenti, ayam galak itu berdiri persis di depan pintu masuk ke dalam pasar. Seperti seakan mencegat. 

   Aku tidak punya pilihan selain terus maju, karena jika aku berbalik, ayam itu pastu akan mengejar… Jantungku berdegup kencang, aku takut ayam itu akan menyerang. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki melewatinya.

    Tetapi sorot matanya yang tajam itu terus mengikuti gerakan kakiku dan… ia pun mematuk kakiku! Tanpa ampun! Aduh… Kuusap kakiku yang terkena patukannya. Paruhnya cukup kuat untuk membuat luka yang lumayan dalam. Aku juga heran mengapa ayam tetanggaku itu selalu menyerangku. Mungkin karena dulu aku suka mengganggu anak ayam peliharaan ibuku. Hukum karma. Padahal, aku hanya gemas melihat anak-anak ayam yang mungil itu. Tetapi rupanya, induknya tidak suka, ia marah dan menyerangku. 

   Rupanya ada dendam kambuhan antara para ayam denganku, termasuk si ayam tetangga. Suatu hari ada seorang ibu menggendong anaknya lewat jalan itu. Dari kejauhan aku mengamati ibu itu. Aku penasaran karena ayam itu tidak mematuk dan menyerang si ibu. “Oh, rupanya ibu ini berjalan dengan tenang, makanya ayam itu tidak menyerangnya,” pikirku menganalisis. Keesokan harinya, aku mulai memberanikan diri lagi lewat jalan itu, mencoba melangkah tenang menirukan si ibu yang kemarin lewat. 

   Percaya tidak, aku berjalan sambil komat-kamit berdoa saking takutnya. Untuk berjaga-jaga, aku membawa alat penangkis serangan, yaitu payung. Kalau ayam itu macam-macam, akan kubuka payungku untuk melindungiku. 

   Aku mencoba berjalan tenang, walaupun jantung berdegup kencang. Sial, ayam itu seperti bisa membaca kepura-puraanku. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja tanpa ampun ayam itu mulai menyerang payungku secara bertubi-tubi! Ia seperti setengah terbang untuk mencari celah untuk mematukku. Menakutkan! 

   Aku benar-benar kewalahan. Dan akhirnya, aku menyerah kalah dengan berlari sekuat tenaga menuju pintu pagar dan berusaha menutupnya. Aku sungguh trauma. Duh, yam, apa salahku, sih…. 

   Pagi itu aku sudah mempersiapkan senjata lain, batu-batu kecil untuk melindungi diri. “Awas, ya, ayam, kalau macam-macam padaku, kulempar batu-batu ini,” Sekarang aku malah kejam. 

   Eh, mana si ayam kejam itu? Aku menoleh ke kanan kiri, tak tampak sosoknya yang gesit itu. Dan betapa terkejutnya saat melihat ayam itu ada di halaman rumah tetanggaku tergeletak lemas…mati. 

                                                          ***
Nah buat teman-teman yang mau kirim naskah juga, ini syaratnya : 
  • Tulisan sepanjang 3 halaman folio 
  • Font : Arial, Size: 12, Ketik 2 spasi 
  • Kirimkan ke email : kontak@femina.co.id 
  • Subyek : Rubrik Gado-gado_Judul Naskah 
  • Cantumkan nama, alamat, HP, nomor rekening dan NPWP kalau ada di akhir naskah 
  • Kirim dalam bentuk file *rtf (rich text formatting) di attachment (bukan dalam body email)
 Ok. Happy writing… ^^

Akhirnya Berobat ke Semarang

Moocen Susan | Rabu, Juni 18, 2014 | 6 Comments so far
   Tuhan menjawab pergumulanku selama ini. Dia sangat peduli padaku, ketika aku kemarin sudah menyerah dengan berbagai macam prosedur, Dia buka jalan lagi untuk menolong bapakku. 
   
   Setiap kali bapakku tidak menghabiskan makanannya, mengeluh lemas dan pegal-pegal di punggungnya hatiku sangat miris. Jus buah dan jamu yang diminum seakan tidak membantu meredakan sakitnya. Dalam kebingunganku aku berseru kepada Tuhan, usaha apa lagi yang harus kulakukan untuk menolong bapakku. 

   Teringat kembali beberapa tahun yang lalu, sahabatku di Semarang yang pernah menderita TB dan sembuh, bercerita tentang dokter yang menanganinya. Sudah lama dia menganjurkan agar aku membawa bapak ke dokternya. Tapi waktu itu aku masih enggan karena belum ada uang dan harus keluar kota, sementara selama ini pengobatan kami selalu ditanggung pemerintah. Selain itu kondisiku masih belum terlalu fit seperti sekarang, akibat bile refluks yang menyiksaku. Sehingga untuk keluar kota aku masih takut makan sembarangan. 

   Memikirkan transportasi ke Semarang sempat membuat kepalaku pusing. Karena pamanku ternyata tidak bisa mengantar, travel tidak ada yang bisa nyampe ke tujuan kami, tadinya aku berencana menginap di kos adikku dan kami berangkat naik motor gantian pikirku ternyata adikku menyuruh kami naik taxi wah ongkosnya akan membengkak kalau seperti itu. Ah itu bukan ide yang bagus. Aku mencoba browsing cari sewa mobil di internet, dalam kebingunganku itu tiba-tiba ada sms masuk dari pamanku yang mengabarkan kalau hari Selasa baru bisa mengantar, tadinya kami berencana hari Minggu/ Senin berangkat. SMS paman itu melegakanku. Aku bersemangat. 

   Soal biaya, aku mengambil uang di tabunganku hasil menulis kemarin. Dan ga cuma itu aja, tiba-tiba ada teman gereja yang datang ke rumah memberi kami sejumlah uang untuk berobat. Sebentar kemudian ada petugas JNE datang mengirimkan hadiah voucher belanja dari hasil lomba blog kemarin. Disini aku melihat penyertaan Tuhan. Ini memang kehendak Tuhan supaya aku membawa bapak berobat segera. Kalau Tuhan yang suruh, pasti Dia kasih jalan berkatNya. 

   Selasa pagi jam 02.30 aku bangun dan memasak nasi untuk bekal makanku. Jam 04.00 kami berangkat menuju Rembang naik angkutan umum. Ya kami memang sengaja lewat Rembang mengingat jalan Blora-Purwodadi jalannya sedang diperbaiki dan sering macet lama. Kami berjalan ke tempat pemberhentian bus sekitar 50 meter dari rumah. Disana sudah ada sebuah bus yang ngetem. Ada 4 orang termasuk sopir yang ada di dalam bus. Kami harus menunggu beberapa orang lagi untuk berangkat. Perutku terasa mual karena kedinginan, tapi aku berusaha rileks. Setelah bus berangkat, aku merasa agak tenang. 

   Kunikmati perjalanan itu dengan hati yang tenang. Tuhan sedang memberiku damaiNya. Sesekali aku ngemil pisang karena lapar dan nasi yang kubawa belum ada lauknya. Pikirku mau beli lauk dalam perjalanan saja. Selama perjalanan suasana masih tampak gelap, kami melewati hutan dank arena keanginan aku pun masuk angin. Terasanya baru setelah kami sampai Rembang kami turun di TRP Kartini dan pindah ke mobil pamanku. Paman tidak ikut, hanya kami dan sopir pamanku yang naik ke mobil itu. Di mobil perutku semakin mual. Aku mencoba makan pisang lagi tapi pisang itu terasa kecut sehingga lambungku perih sekali. Sampai di Kudus, aku mulai keringat dingin dan muntah-muntah lagi sampai ke Semarang. Bapakku yang sakit itu pun mulai dapat kekuatan baru untuk ganti merawatku. Tubuhku diolesi minyak kayu putih dan aku berbaring di pangkuan bapakku sambil dipijat-pijat terus. Inilah kalau 2 orang sakit saling menguatkan. 

   Sampai di Semarang aku mulai kelaparan hebat, rencana mau makan misoa di Indah Sari Mataram, tapi karena belum matang akhirnya cuma pesan soto. Aku masih tepar di mobil, ga kuat berdiri sehingga pelayan restoran itu yang datang ke mobil bawa semangkuk soto tanpa nasi. Bapak dan sopir makan di dalam restoran. Karena masih terasa mual, aku merasa soto itu jadi hambar. Tapi aku harus makan supaya ada kekuatan. Aku masih berjuang untuk sembuh. Rasanya ga mungkin ketemu dokter dengan kondisi seperti ini sedangkan aku yang harus menemani bapak dan menceritakan semua kronologi keluhan bapakku. Aku harus kuat.

    Setelah selesai makan, kami menuju ke tempat praktek dr. Priyadi di Jl. Sompok Baru 89 Semarang. Lokasinya dari Matahari Java Mall belok ke kiri, ya daerah dekat pasar kambing gtlah. Kami masuk ke dalam dan kulihat sudah banyak pasien mengantri disana. Aku mendaftar dan mengisi formulir pendaftaran pasien. Kami menunggu panggilan. 

   Yang menarik disana ketika aku sedang mengantri, kulihat ada sekumpulan pasien difabel dan autis mengantri juga disana. Sepertinya mereka datang rombongan dari sebuah yayasan. Ada 2 orang pemuda pemudi yang mengawal mereka. Aku sangat kagum pada dua anak muda ini. Entah siapa dan dari yayasan mana mereka itu. Sepertinya itu check up rutin. Salah satu anak autisnya berteriak-teriak ga jelas disampingku dan kadang ia mengamuk karena bukunya diambil temannya. 

   Beberapa saat kemudian, adikku datang dan bapakku dipanggil untuk ditensi, dicek suhu badannya dan ditimbang. Dokter datang dan pasien mulai dipanggil satu persatu sesuai urutan. Bapakku urutan ke-14. Kami sampai di Semarang jam 09.30 dan masuk diperiksa dokter jam 10.15. Dokternya sangat ramah dan komunikatif. Aku merasa nyaman ngobrol dengan dokter Priyadi. Aku menyerahkan hasil rontgen, dan hasil cek darah bapakku serta rujukan dokterku di Blora. Bapakku diperiksa dengan teliti dan dokter menyarankan bapakku untuk diopname dan CT Scan untuk mengetahui apakah ini bekas TB, cenderung TB, atau memang ada benjolan di paru kanannya.

Dokter menulis resep obat ada 4 macam. 
  • Curvit Emulsion Sirup : 3x 1 sdm 
  • Teosal Tablet 4x ½ tab 
  • Codein 10 mg 3x1 
  • Proneuron Metamizole Diazepam 3x1 
   Setelah itu aku ke kasir dan membayar biaya konsultasi Rp.100.000,- Selanjutnya kami menuju ke apotik Sarika Jl. Lampersari 31 Semarang. Disana rame sekali. Aku memberikan resep ke petugasnya dan disuruh menunggu. Setelah dipanggil aku membayar uang obat dan menunggu obatnya lagi. 
   Sementara menunggu, aku membayangkan lagi betapa banyaknya urusan yang harus kuurus. Balik lagi ke Semarang? Dan kali ini harus nginep di rumah sakit? Sedangkan perjalanan tadi saja aku sudah sangat tepar. Bingung melandaku. Belum lagi masalah makan masih jadi problem utama. Kalau ga nginep masih bs bawa bekal. Lah kalau nginep? Aku usir ketakutanku satu per satu. Ah yang penting dijalani saja. Demi bapakku aku harus kuat. Kalau bukan aku siapa lagi. Tepar sehari dua hari ga masalah yang penting bapakku sehat. Semoga ujian ini cepat berlalu. Aku paling paranoid kalau seperti ini. Setelah semua urusan selesai, kami pulang ke Blora. Sampai di rumah aku masih tepar dan langsung tidur.

Surat Untuk Bapak

Moocen Susan | Minggu, Juni 15, 2014 | | 8 Comments so far

bersama GagasMedia

Hadiah Lomba Blog ACER

Moocen Susan | Minggu, Juni 15, 2014 | 16 Comments so far
   Pagi ini perutku mules banget, perasaan kemarin cuma makan pisang jadi bawaannya pengen ke toilet melulu. Mungkin emang pisang bikin BAB jadi lancar jaya ya tapi ini kok jadi berkali-kali sih? Dan mustinya hari ini aku ke gereja, tapi batal deh gara-gara sakit perut. Meski aku ga ke gereja, tapi aku masih berharap perutku bisa cepet sembuh biar bisa nganter bapak ke gereja juga. Bapakku itu meski sakit tapi kalau soal ke gereja dibela-belain datang. Prok prok prok salut banget . 

   Jadi aku bangun pagi-pagi buat masak nasi dan goreng telur buat sarapan bapakku. Sambil megangin perut sambil goreng, duh abis masak langsung masuk toilet lagi. Ada apa ini aku kok rasanya kayak disuruh diem di rumah aja, ga kemana-mana? 

    Aku pun SMS sopir gerejanya buat jemput bapak ke gereja, ya jadi kalau ada jemaat di gerejaku butuh antar jemput ke gereja pasti dijemput. Enak ya? Hihi.. tapi tetep rasanya aku lebih santai kalau berangkat sendiri, soalnya kalau ikut mobil antar jemput bawaannya kemrungsung, buru-buru, lebih pagi dari berangkatku. 

   Dan beneran, hari ini sopirnya datang jam 07.30, padahal acara gerejanya mulai sejam kemudian. Bapakku lagi makan, eh sopirnya keburu datang. Sedangkan aku masih di toilet berjuang dengan sakit perutku. Bapakku teriak-teriak kalau udah dijemput, la mau gimana masa aku stop dulu perjuanganku masih nanggung nih. ya sudah akhirnya pintu rumah ga kekunci, aku masih di dalam toilet dan bapakku pergi ke gereja. Aku mikir, "wah itu makannya dihabisin gak ya kalau diburu-buru gitu? Takutnya ntar kalau ga dihabisin bisa geliyengan di gereja kan gawat?"

   Setelah setengah jam ada di dalam toilet (lama bener ya? :D) aku pun keluar dari toilet dan baringan di sofa sambil mengolesi perutku dengan minyak kayu putih. Mau bobo lagi kok laper? Laper plus mules, bingung kan? Hadehhh, cobaan apa lagi ini? Padahal besok lusa mau keluar kota lagi, ini malah sakit perut datang tanpa undangan resmi. Aku coba makan dan setelah makan, balik lagi ke toilet. "Ya elah, berasa ini perut kagak ada saringannya, langsung terbuang gitu aja abis makan." Setengah jam kemudian aku keluar lagi dengan perasaan lega. "Oh Tuhan, sudah ya cukup jangan sampai aku masuk lagi ke toilet. Kesemutan nih kakiku meski pake model duduk dan berasa ngecap di pantat."

    Setelah sakit perutku mereda, aku mandi dan keluar bentar beli air galon. Sepulang dari beli air, tadinya mau bobo, eh malah buka komputer. Lihat mak Rodame, mak Haya sama mak Hanila lagi chatting ngobrolin hadiah lomba blog Acer. Punyaku sama punya mak Hanila belum nyampe. Aku sih santai aja, kali aja besok pikirku. Lagi asik-asiknya online, datanglah petugas JNE ke rumahku. "Wow, ga nyangka ini kan hari Minggu, kok masuk ya petugasnya? Hehe."

    Wah aku baru ngerti, kenapa sejak pagi tadi perutku mules dan batal ke gereja. Rupanya hadiah voucher belanjaku nyampe hari ini to? Untung aja aku di rumah. Jadi intinya saudara-saudara, jika ada sesuatu kejadian yang membuat rencanamu gagal jangan negative thingking dulu, mungkin ada sesuatu di balik kegagalan/ batalnya rencana. 

   Ya, beberapa waktu lalu aku memang mengikuti lomba blog Acer ini. Perjuangannya ga mudah, soalnya kan aku ga punya gadget android. Sedih rasanya kalau pengen ikutan lomba tapi fasilitas ga memadai. Sedangkan itu adalah lomba blog aplikasi ACER dimana kita harus mereview tentang aplikasi anak cerdas ini. Temanya gw banget soalnya berhubungan dengan pendidikan anak SD. 

   Tadinya aku sempet pesimis, mau ikutan apa gak, kupikir yang bisa ikutan itu yang punya anak. Lah aku kan belum punya anak, bapaknya anak-anak aja belum dapat-dapet sampe sekarang? Gimana mau punya anak? Ya entah kapan kutemukan bapaknya anak-anakku. Soalnya setiap aku nemu cowok, selalu sudah ada yang punya. Minimal sudah punya gebetan. Ya, aku ga kebagian donk? Apa jangan-jangan stoknya udah habis ya? (Yeee, stok … stok,.. emangnya barang di gudang? :P) 

   Mak Myra menyadarkanku bahwa aku masih punya murid les. Oh iya kenapa ga kepikiran ya? Memang aku belum punya anak, tapi anaknya orang boleh juga lah buat bahan repiew. Hahaha. Perjuanganku sangat berat, agak ngoyo juga ikutan lomba ini. Gadgetnya modal minjem. Soal ijin meminjam tablet udah disetujui orangtua muridku. Wah lancar nih kayaknya. Aku pun makin semangat. Aku mulai ngedraft seminggu sebelum setor. Niat banget ya, nggambar kartunnya juga. Pokoknya aku mau berikan yang terbaik deh. Sambil nunggu murid lesku datang les sambil bawa tabnya, aku pun berdoa semoga dia ga lupa bawa. 

   Hari itu hari Selasa, aku sudah siap dengan kamera HP layar minimalisku, ya cuma 640x480 px doank mana gambarnya ngeblur ga jelas. Abis punyanya baru itu ya udah hehe. Aku tunggu-tunggu la kok dia ga datang? Tahukah Anda apa yang terjadi pada saya. Tiba-tiba di depan komputer aku bisa nangis, air mataku menetes deras sekali. "Oh Tuhan, aku sudah merencanakan sedemikian rupa, kenapa muridku ga datang? Selak Deadline Tuhan, temen-temenku udah pada setor tulisan. Aku kapan ini? Hiks hiks.. "

   Sambil menoleh ke arah kalender, kuperhatikan tanggal demi tanggal akankah moment ini terlewatkan bagiku? Oh Tidaaaakkkk!!! Aku pun melihat lebih serius lagi ke hari dan tanggal dan tiba-tiba air mataku berhenti menetes. Aku pun menertawakan diriku sendiri karena memang hari ini bukan jadwal muridku les, harusnya besok dia baru les. Astaga kenapa aku bisa lupa? Huks huks.. tiwas nangis Bombay. 

   Ya itulah kalau orang terlalu spanneng sampe lupa daratan dan lautan. Hahaha... Keesokan harinya muridku datang juga bawa tabnya. Yes! berhasil. Tak hanya itu saja, malam harinya aku juga dapat pinjaman laptop adikku buat mempelajari aplikasi ini lebih dalam lagi dan membuat reviewnya. Meski ada hambatan berulangkali tapi syukurlah aku tidak terlambat setor tulisan. Aku beriman, aku pasti menang dan aku harus menang. 

   Dan imanku benar-benar terwujud. Meski bukan pemenang utama namun aku sangat bersyukur. Perjuanganku tidak sia-sia. Dan inilah hadiahnya sebagai pemenang hiburan voucher belanja Indomaret 25.000? oh tentu tidak… karena lembaran 25 ribunya ada 20. Jadi hadiahnya ? itung sendiri ya hahahaha… Puji Tuhan. Terima kasih Tuhan Yesus.

Beban Ekonomi Akibat TB yang Kualami

Moocen Susan | Rabu, Juni 11, 2014 | 14 Comments so far
   Sedih dan bingung, itulah yang sedang saya rasakan akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Kondisi bapak saya semakin hari semakin lemah karena MDR TB yang dideritanya. Memang awalnya kami tidak khawatir soal biaya pengobatan TB-nya selama ini karena masih ditanggung pemerintah dengan jamkesda. Selama setahun berobat ternyata kondisi bapak saya belum ada perubahan. Entah ini karena pengobatan TB yang kurang tepat, pernah putus obat, atau memang penyakitnya sudah menjalar ke bagian lain. 
 
dokumen foto pribadi
   Beliau sering mengeluh sesak nafas, kelelahan, dan kurang nafsu makan. Nafasnya sering terdengar ngos-ngosan di pagi hari ketika udara dingin. Semakin hari berat badan bapak saya menurun hingga 33 kg di usianya 79 tahun. Menurut artikel yang saya baca penurunan berat badan ini dikarenakan adanya bakteri TB yang berkembang dalam tubuhnya. 

   Kesalahan terbesar saya adalah lupa memeriksakan bapak saya kembali untuk mengecek apakah paru-paru bapak sudah bersih dari kuman TB atau belum setelah mengonsumsi OAT selama setahun. Mendengar bapak sering mengeluh sesak nafas lagi, saya kembali memeriksakan beliau ke dokter yang menangani di rumah sakit umum setempat. 

   Dokter kami merujuk bapak untuk tes kebal obat di Solo tetapi karena dahak bapak saya tidak bisa keluar kami pun disuruh pulang kembali ke Blora untuk periksa dahak terlebih dahulu sebelum dibawa kesana lagi. Di Blora pun dahaknya susah keluar meski sudah diberi obat ambroxol dan OBH dari puskesmas. Kami kembali lagi ke rumah sakit dan dokter akhirnya merujuk ke dokter swasta saja di Semarang supaya bisa langsung diambil tindakan lebih cepat dan tidak ribet dengan prosedur. 

   Setelah berkonsultasi, kecemasan saya timbul saat dokter menyarankan bapak saya untuk menjalani CT Scan paru dengan kontras. Dokter ingin memastikan apakah dengan hasil rontgen bapak saya ini memang karena cenderung TB, bekas TB, atau ada keganasan. Sedangkan untuk menjalani CT Scan ini ternyata kami harus menanggung biaya sendiri. Tak hanya beban ekonomi yang berat yang kami rasakan, tetapi juga beban mental. Kami mengupayakan untuk mengurus BPJS juga tetapi itu tidak membantu, karena meskipun kami menggunakan BPJS masih perlu nombok lagi untuk menjalani CT Scan paru. 

    Saya mulai berpikir, andaikan kami bisa menjalani CT Scan pun dan jika ternyata memang benar adanya keganasan tersebut, pengobatan akan terus diperlukan sedangkan biaya pun makin bertambah. Kami harus memikirkan biaya transportasi pulang pergi ke rumah sakit di luar kota dan juga memikirkan biaya konsultasi dokternya dan belum lagi biaya-biaya lainnya yang tidak bisa kami bayangkan bagaimana cara kami membayar semua biaya ini? Tak hanya waktu yang tersita, tetapi tenaga, pikiran, dan uang pun terkuras. 

   Saya juga harus meninggalkan pekerjaan saya demi menemani bapak bolak-balik berobat ke luar kota dan itu artinya tidak ada pemasukan. Akhirnya saya harus berhutang kesana-kemari untuk membayar biaya pengobatan TB bapak diluar pengcoveran BPJS. Beban ekonomi akibat TB sangat kami rasakan dalam keluarga kami. 

   Oleh sebab itu alangkah lebih baiknya mencegah atau mendeteksi TB sejak dini dan langsung memeriksakan diri ke dokter ketika kita terinfeksi TB dengan gejala batuk lebih dari 2 minggu, demam, keringat dingin di malam hari, dan nafsu makan berkurang hingga mengakibatkan penurunan berat badan. Hal ini dimaksudkan agar beban biaya pengobatannya tidak terlalu besar seperti pengalaman yang saya alami ini. 

   Dan pesan saya, ketika minum obat TB harus sampai rutin dan tuntas agar kuman TB tidak resisten/ kebal obat sehingga menjadi MDR-TB dengan asumsi biaya yang lebih mahal. Bisa kita lihat pada gambar dibawah ini : 

sumber disini

Tentu saja efek samping MDR-TB lebih berat daripada TB biasa dengan masa pengobatan lebih lama sekitar 2 tahun. Sedangkan seandainya jika  mau rutin dan tuntas dalam minum obat TB hanya butuh waktu 6-9 bulan saja dan yang pastinya biayanya masih bisa ditanggung karena masih dicover pemerintah. 

   Tak hanya saya, tetapi orang-orang yang mengalami nasib serupa akibat TB juga turut merasakan beban ekonomi yang berat. Yang tidak terjangkau dengan penanganan yang cepat dan pengobatan yang rutin sampai tuntas akan menjadi MDR TB dan bisa juga mengalami kematian. 

   Pepatah “Miskin jangan sakit” sangat cocok sekali untuk mengungkapkan beban ekonomi akibat TB ini. Karena kemiskinan, orang jadi kurang asupan gizi yang seimbang, mereka tinggal di tempat yang tidak sehat sehingga tidak bisa memelihara kesehatannya dengan baik. Akibatnya mereka akan mudah jatuh sakit. Kalau sakit kan musti berobat padahal biaya pengobatan cukup mahal. Namun jika tidak berobat penyakitnya bisa jadi makin parah. Beban biaya pengobatan yang harus mereka tanggung membuat mereka jadi semakin miskin. 

    Karena kemiskinan yang mereka alami kebanyakan masyarakat enggan memeriksakan dirinya ke puskesmas atau rumah sakit ketika terinfeksi kuman TB. TB adalah pembunuh nomor 1 diantara penyakit menular lainnya dan I menduduki peringkat 3 dalam 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia. 

   WHO memperkirakan jumlah kasus TB di dunia sebanyak 8,6 juta, 0,5 juta diantaranya anak-anak dan 2,9 juta pada wanita. 1,3 juta orang di dunia ini meninggal akibat TB per tahunnya. Indonesia sebagai negara ketiga penyumbang kasus terbesar di dunia dengan beban TB yang masih sangat tinggi mengingat setiap tahun masih ada 460.000 kasus baru. 

   Dampak negatif TB dalam bidang ekonomi mengakibatkan 50% pasien TB mengalami penurunan pendapatan per tahunnya dan 75% pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya hidup sehari-hari. Sedangkan yang menerima berbagai macam bantuan (termasuk asuransi) hanya sekitar 22% dari pasien TB dan 34% pasien MDR-TB. 

   Tak jarang pasien MDR-TB terpaksa menjual asset mereka atau berhutang demi menutupi biaya pengobatan. Pasien MDR-TB lebih sering kehilangan pekerjaan mereka yang disebabkan oleh TB dibandingkan dengan pasien TB (53% vs 26%). 

   Hilangnya produktifitas disebabkan kecacatan/kematian dini mencapai 2 jt USD (tanpa discount rate) utk kasus TB aktif baru dlm 1 th (2011) Rerata biaya pengobatan perkapita pada tahun 2011 sebesar 33 sen USD dan meningkat menjadi 228 USD pada tahun 2014, sedangkan untuk pengobatan MDR TB akan menjadi 10.027 USD. Besarnya peningkatan biaya layanan disebabkan oleh target pengobatan yang lebih tinggi untuk kasus MDR-TB. 

   Target Kemenkes utk penemuan dan pengobatan, total biaya pemberian pelayanan seluruh wilayah negara diproyeksikan meningkat dengan pemberian layanan seluruh wilayah dari sekitar 85 juta USD pada tahun 2013 menjadi 118 juta USD pada tahun 2016. 

   Mengingat beban ekonomi yang berat akibat TB ini maka penting sekali memperkirakan biaya pelayanan penyakit TB yang akurat di semua tingkat pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah telah menyusun tiga kunci strategis dalam menghadapi keberlanjutan pembiayaan program TB, yaitu : 
  1. Meningkatkan alokasi pembiayaan pemerintah baik pusat maupun daerah 
  2. Meningkatkan pembiayaan asuransi dan kontribusi swasta sebagai contoh CSR 
  3. Penerapan program secara cost-effectiveness dan efisien. 
   Dan pada tahun 2013 Management Science for Health (MSH) dan Kementrian Kesehatan telah selesai mengembangkan alat costing (costing tools) yaitu sebuah alat untuk menilai efektivitas biaya pelayanan MDR-TB yang telah diuji di RS Moewardi Solo, Jawa Tengah. Dengan harapan agar alat ini mudah digunakan bagi Pemda maupun LSM yang bergerak di bidang TB sebagai alat advokasi. 
   Model ini memperhitungkan beban biaya ekonomi akibat penyakit TB dengan melihat alur kejadian dan biaya yang timbul baik pasien yang diobati maupun tidak diobati. Adapun jenis biaya yang diperhitungkan diantaranya :
  1. Biaya medis TB dari pasien yang dirawat
  2. Beban biaya rumah tangga untuk pasien yang diobati
  3. Kerugian produktivitas akibat disabilitas
  4. Kerugian produktivitas akibat kematian prematur 

  Gambar Metodologi yang digunakan dalam simulasi ini adalah dengan memperhitungkan seluruh biaya langsung pelayanan berdasarkan standar pelayanan TB dan biaya-biaya tidak langsung seperti kegiatan preventif dan promotif program TB berdasarkan pengeluaran Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Jawa Tengah. Hasil dari biaya tersebut kemudian disesuaikan dengan epidemiologi dan targetnya hingga tahun 2021.
sumber disini

Keterangan :
  • Semua asumsi pembiayaan dapat sepenuhnya disesuaikan dan mudah diperbaharui dalam alat penghitungan
  • Hitungan berdasarkan data 2011 dan diproyeksi hingga tahun 2021  
  • Laju pertumbuhan masyarakat tahunan = 1%  
  • Biaya inflasi nasional = 4.5%  
  • Biaya ditampilkan dalam US dolar  
  • Biaya dari biaya rawat inap pasien untuk sementara menggunakan tarif yang dikumpulkan dari rumah sakit 
   
   Dengan perkiraan  443.000 kasus TB per tahun. Setiap pencegahan kasus TB dapat menghemat beban biaya yang dikeluarkan pemerintah. Dengan memperkuat pencegahan kasus, maka untuk penyakit TB dapat menghemat biaya sistem kesehatan hingga mencapai $171 dan mengemat pengeluaran keluarga hingga $791. 
   Sedangkan untuk MDR-TB, biaya yang dapat ditekan mencapai $4,972 dan beban keluarga mencapai $4,077. Oleh karena itu, pembiayaan TB yang hanya kurang lebih sebesar $20 cents per kapita dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menurunkan kasus TB menjadi MDR-TB, melindungi individu dari kemiskinan, dan membangun ekonomi bangsa Indonesia (sumber: disini)

sumber referensi : 
- http://www.kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/article/415-beban-ekonomi-dan-biaya-layanan-kesehatan-program-tuberkulosis-di-indonesia.html
- http://blog.tbindonesia.or.id/


Batal Mengurus BPJS

Moocen Susan | Senin, Juni 09, 2014 | 7 Comments so far
   Hari Jumat kemarin aku ke rumah Pak RT bersama bapakku menanyakan prosedur bikin BPJS karena selama ini kami pakai Jamkesda. Kebetulan pak RT malam itu mau pergi rapat sosialisasi BPJS di Balai Desa. 

   Akhirnya kami pulang dan kembali lagi keesokan harinya. Sabtu pagi kami kembali kesana dan kata Pak RT kami harus ke kantor BPJS setempat untuk mendaftar.

   Senin pagi kami ke kantor BPJS. Aku diberi formulir isian peserta dan catatan syarat-syaratnya. 

Peserta BPJS dibagi 2 : 
  1.  PBI (Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan) : fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. 
  2. Non PBI (Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan) : PNS, anggota TNI, Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non PNS, pegawai swasta, dll 
Adapun iurannya dibagi 3 kelas: 
  • Kelas 1 : Rp. 59.500,-/jiwa/bulan 
  • Kelas 2 : Rp. 42.500,-/jiwa/bulan 
  • Kelas 3 : Rp. 25.500,-/jiwa/bulan 
Dengan syarat menyerahkan fotokopi (KTP, KK, Buku Rekening BRI/BNI/Mandiri, dan pas photo berwarna 3x4) masing-masing 1 lembar. 

1 keluarga mengisi 1 lembar formulir BPJS. Semua berkas harus dilengkapi dulu saat mendaftar kemudian kita membayar iuran melalui Bank setelah itu kembali lagi ke kantor BPJS untuk aktivasi kartunya. Iuran harus rutin dibayar setiap bulannya dan ada denda bila kita terlambat mengiur. 

  Nah, setelah tadi aku berkonsultasi tentang CT scan sedangkan kami punyanya Jamkesda maka aku disarankan bertanya ke kantor DKK setempat tentang rumah sakit yang cover CT Scan ini dengan jamkesda dulu sebelum memutuskan mendaftar BPJS. 

   Sampailah aku di kantor DKK. Dari situ aku mendapat info kalau Jamkesda bisa juga cover CT scan tapi harus melalui prosedur dari awal. Sedangkan ketika kutanya pihak RS di Semarang bilangnya Jamkesda nya tidak berlaku karena sekarang yang dipakai adalah BPJS. Bapakku pasti disuruh periksa dahak lagi. padahal dahaknya susah keluar. Sedangkan dokterku merujuknya ke dokter swasta. Kalau pake BPJS ke dokter swasta ini katanya harus yang kelas 1 baru bisa CT Scan tapi itupun juga ga semua. 

   Perhitungannya kalau dalam keluargaku ada 3 orang berarti perbulannya harus bayar Rp. 178.500,- masih nombok lagi buat CT Scan. Kalau lihat iklannya sih pasien jamkesda sudah otomatis menjadi peserta BPJS kesehatan, tapi dari BPS ternyata dijatah.

Kata pak RT masalah BPJS untuk PBI (jamkesda yang di PBI-kan) menunggu kerjasama bapak Bupati setempat baru bisa. Kapan itu ya? Sedangkan kondisi bapakku makin hari makin lemah. Aku keluar dari kantor sambil menangis hanya bisa pasrah pada Tuhan apapun yang terjadi. Aku berkata pada Bapakku, "Sabar ya pak, mungkin Tuhan punya rencana lain. sementara ini berobat tradisional aja nggih pak. nanti tak buatkan jus buah. Sambil menunggu mujizat Tuhan."

Curhat Senin

Moocen Susan | Senin, Juni 09, 2014 | 4 Comments so far
   Awalnya aku juga ngerasa aneh kenapa ya aku sering emosi atau sensi kalau pas dapet. Ga tau tiba-tiba ada aja yang bikin marah, tapi harus tetap menguasai diri. Ini yang susah. Ada rasa bersalah di dalam diriku kalau abis marah ga jelas gitu. Dan kalau ada orang lain yang kutemui sedang sensi aku langsung mudeng, oh lagi dapet ni mbaknya pantesan sewot.
credit

   Terlepas dari sensi tiap bulan, pernah gak diantara teman-teman yang punya teman yang kalau ngomong atau tiap kali komentar itu isinya nyinyir, nyindir, dan minder ? Saya berusaha untuk tidak minderan dan selalu memotivasi teman-teman yang suka minder. Eh minder itu ga baik lo. Serius. Minder adalah tanda bahwa kita tidak bersyukur atas talenta yang Tuhan berikan. Minder itu cenderung sombong. 

   Manusia emang ga pernah puas atas apa yang diraihnya, Disatu sisi ya emang bagus untuk memotivasi diri agar lebih maju tapi kalau minder trus ga mau berusaha itu namanya mematikan potensi diri. Atau ada yang bilang, "ah aku kan belum seperti si X yang sudah punya buku solo, atau yang sudah tembus di media ini itu." Apa ukuran kesuksesan dimatanya hanya seperti itu? 

   Rejeki itu kan Tuhan yang ngatur dan kita wajib berusaha. Dan kita ga perlu iri, karena sudah ada jatahnya masing-masing. Saya beberapa hari lalu memang sering banget ketiban menang lomba/ kuis, tapi apa ujung-ujungnya? Ada maksud Tuhan dibalik kemenangan saya ini, dikasih sangu buat berobat bapak saya. Uang itu hanya lewat. Kalau Tuhan kasih itu berarti kita sedang membutuhkan, kalau keinginan kita belum dikabulkan Tuhan itu tandanya kita belum sangat membutuhkan. Hanya sebatas ingin. 

   Seseorang bisa berhasil itu karena berusaha. Waktu yang Tuhan kasih kepada kita itu sama 24 jam sehari. Tapi kenapa berkat yang diterima beda-beda? Karena sebagian orang mau bayar harga, tidak bermalas-malasan. Ada orang yang bekerja demikian rupa sampai larut malam demi mencari sesuap nasi, ada orang yang hanya ingin menerima saja. Tentu hasilnya beda. Kadang ada juga yang minta bisa sesuatu tapi instan. Mana bisa begitu? Bahkan tumbuhan saja untuk tumbuh juga butuh waktu. Apa yang dilakukan oleh orang lain selama bertahun-tahun kita ingin lakukan dalam 5 menit? Impossible kayak gitu. Itu orang ga malas. Ga mau repot. 

   Kadang saya bingung menghadapi orang tipe begini. Kalau dibantuin terus nanti keterusan waktu saya habis buat ngurusi dia padahal saya juga butuh kerja nyari uang. Ya sudahlah mungkin lebih baik kita jaga jarak saja dengan orang model parasit begini. Kita ga akan bisa menyenangkan semua orang. Jika kamu ingin dihargai hargai diri sendiri dulu. Jangan gampangan juga biar ga diremehkan orang lain. 

   Yang kedua, beberapa hari lalu ada orang add pertemanan dengan saya. baru saya add belum ada 5 menit, eh langsung minta tolong vote karena dia mau ikutan lomba. Duh ni orang ga sopan banget, itu contoh orang yang mau menangnya sendiri. lomba kalau pakai sistem vote bikin kita kayak di tayangan "minta tolong" itu lho, bahkan  menghalalkan segala cara. orang ga kenal aja bisa sok akrab demi sebuah jempol. jempol itu gampang tinggal sekali klik aja sebenernya tapi jangan brutal gitu donk mintanya. kalau memang kita berteman baik dan udah lama kenal itu spontan dikasih. ya namanya juga usaha tapi tetep ga nyaman kalau gini. salam sensi deh.

Mengurus Surat-surat Berobat

Moocen Susan | Sabtu, Juni 07, 2014 | 4 Comments so far
   Entah mengapa masalah pengobatan bapakku ini rumit sekali. Sering mengalami penundaan dan kegagalan. Masalah kurang hasil lab, surat yang kurang lengkap, salah tulis nama dokter di surat rujukannya, belum punya kartu BPJS, dan rasanya benar-benar butuh perhatian ekstra memperkirakan tanggal kadaluwarsa surat rujukan puskesmas juga yang hanya sebulan. 

   Jadi biar ga bolak balik semua butuh persiapan dan aku adalah orang yang selalu melakukan persiapan. Meski sudah sedetil itu melakukan persiapannya ada aja gagalnya. Nah lho, jadi segala sesuatu butuh pimpinan Tuhan juga. Hari ini aku tiba-tiba digerakkan Tuhan untuk membuka website rumah sakit yang akan kukunjungi untuk mencari informasi disana. Untungnya ada dan komplit, padahal tadinya mau telepon ke bagian informasinya. 

   Dari website nya aku tahu bahwa ada surat yang kurang lengkap untuk proses pendaftaran pasiennya yaitu surat rujukan dari rumah sakit setempat. Kenapa ga terpikir dari kemarin ya? Pas di Solo kan juga perlu surat ini, jadi rencananya aku kembali ke RSU untuk meminta surat rujukan lagi ke Semarang + benerin nama dokternya yang salah. Surat rujukan puskesmas masih berlaku jadi ga perlu ke puskesmas lagi. Senin mengurus BPJS ke kantornya.

   Dan kemudahan berikutnya adalah untungnya dokternya ini fast respon kalau kuemail, jadi aku cukup terbantu. Dari emailnya aku tahu kalau beliau tidak ada di tempat minggu ini. So, aku ga kecelik. Semua aku perkirakan dengan matang, mikir transportasi, mikir kesehatanku juga, mikir dana juga karena kami dirujuknya ke dokter swasta agar tidak ribet. Beneran aku agak keki soal dahaknya bapakku yang ga bisa keluar sedangkan kalau mau periksa di umum harus pake dahak dulu. 

   Prosedur oh prosedur kenapa ga ada dispensasi sama sekali. Seharusnya kalau dahaknya emang diapa-apain ga bisa keluar ya apa ga cukup foto rontgen aja bahkan kalau mau lebih jelasnya bisa di CT Scan. Mungkin emang harus begini ya okelah diikuti aja apa maunya. Sory agak emosi karena aku mencemaskan sekali kondisi bapakku.